Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2014, maka sejak itu pula berlaku penyelenggaraan pemerintah daerah yang sistemik melalui pemilu yang dilaksanakan secara regular. Dengan kata lain, otonomi daerah telah mendorong demokratisasi tata kelola pemerintahan yang realisasinya akan menghasilkan kepemimpinan daerah yang lebih kredibel dan akuntabel, peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif yang terdesentralisasi, penataan sistem administrasi, efisiensi dan standarisasi keuangan daerah yang lebih jelas bersumber pada pendapatan negara dan daerah  serta akselerasi sumber-sumber penerimaan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, pajak, retribusi dan pinjaman daerah.

Perspektif yang menarik dari otonomi daerah adalah bahwa ia bukan sekedar pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah tapi juga kemandirian dalam melaksanakan pembangunan, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan suatu daerah, pendanaan menjadi hal yang penting. Meski pada dasarnya dilakukan dengan prinsip money follow function (besarnya distribusi keuangan didasarkan oleh distribusi kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang sudah ditentukan terlebih dulu antara pusat dan daerah), dalam implementasinya ternyata daerah juga sudah diberikan sumber-sumber pendanaan terutama melalui pengalokasian dana transfer ke daerah seiring dengan pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selain itu, pada dasarnya di daerah sudah memiliki kewenangan sendiri untuk melakukan pungutan pajak dan retribusi yang tertampung dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, dituntut terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang kemudian akan mendorong para kepala daerah untuk mengembangkan kepemimpinan yang transparan dan akuntabel, serta mengkondisikan berbagai langkah  reformasi birokrasi. Realisasi kebijakan daerah pada dasarnya adalah untuk menyejahterakan rakyat, dalam hal ini terdapat peningkatan yang rasional untuk Indeks Pembangunan Manusia (IPM), juga berkembangnya sektor-sektor pendidikan dan kesehatan serta berkurangnya kemiskinan.

Bagaimana dengan perencanaan pembangunan di daerah?

Tentu saja dengan adanya otonomi daerah, maka daerah tersebut mempunyai kewenangan melakukan perencanaan pembangunan didaerahnya. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota   yang telah merinci masing-masing kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota yang meliputi 31 bidang urusan, diantaranya adalah urusan perencanaan pembangunan. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) adalah instansi yang memiliki peran dan posisi strategis dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah dan melakukan koordinasi dan sinkronisasi penyusunan rencana pembangunan antar SKPD.

Pembangunan daerah pada hakekatnya adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mengelola sumber daya ekonomi daerah.

Pengertian perencanaan menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Definisi tersebut kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

Beberapa definisi perencanaan pembangunan menurut para ahli, antara lain :

  1. Perencanaan pembangunan sebagai konsep yang menyangkut dua aspek, yaitu sebagai suatu proses perumusan rencana pembangunan, dan kedua sebagai substansi rencana pembangunan itu sendiri. Proses perumusan rencana pembangunan berkaitan dengan aktivitas bagaimana sebuah perencanaan pembangunan disusun, kapan, dan siapa saja pihak yang terlibat dalam proses penyusunan perencanaan tersebut. Sedangkan substansi rencana pembangunan menekankan pada isi dari rencana pembangunan yang telah disusun, permasalahan pokok dan isu-isu strategis yang mendesak untuk diselesaikan dalam pembangunan (Moeljarto Tjokrowinoto – Politik Pembangunan, Sebuah Konsep, Arah dan Strategi, Yogyakarta (1993 : 92))
  2. Perencanaan pembangunan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/ aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik. Untuk konteks daerah dinamakan perencanaan pembangunan daerah yang diartikan sebagai suatu proses perencanaan pembangunan dengan maksud untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan dan mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada asas prioritas. ( Riyadi & Supriadi B., Deddy – Perencanaan Pembangunan Daerah, Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah, Jakarta (2005 : 7))

Jadi, perencanaan pembangunan merupakan tahapan penting dan kritis dalam proses pembangunan sehingga pada proses ini harus dilakukan secara komprehensif dengan didukung oleh data-data statistik yang memadai. Karena perencanaan pembangunan akan menentukan arah pembangunan daerah ke depan, maka perlu dirumuskan tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam kurun waktu ke depan.

(ci2-dari berbagai sumber)