Era Desentralisasi

Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan institusional sejak era sebelum kemerdekaan. Pada masa kolonialisme, implementasi kebijakan otonomi daerah adalah sentralistik. Sedangkan pada era Orde Lama, Presiden Soekarno memperkenalkan sebuah sistem perpaduan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Pada rezim orde baru, pemerintahan dan keuangan daerah tersentralisir di Jawa, yang semakin memperlebar kesenjangan struktur ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Pasca jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, terjadi gejolak di Indonesia menuntut keadilan ekonomi yang ditandai dengan huru-hara massal di berbagai daerah. Pemerintah dianggap gagal dalam menjalankan governabilitas yang dapat menjamin stabilitas ekonomi dan politik.

Implikasi lain dari hal ini memunculkan aksi Reformasi yang menuntut pembaruan sistem politik dan ekonomi nasional, yaitu berlakunya otonomi daerah atau desentralisasi pemerintahan yang melahirkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sistem desentralisasi ini diharapkan dapat membuat masyarakat lebih sejahtera dan merata sesuai dengan konsep tata pemerintahan meta governance. Perubahan perilaku pemerintah yang semula sangat otoriter dan sentralistik menjadi pemerintah yang sangat demokratik. Kebijakan desentralisasi merupakan sebuah tren yang terjadi secara global termasuk di Indonesia, fenomena yang terjadi menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara desentralisasi dengan pengembangan ekonomi wilayah. Sistem desentralisasi ini menyangkut upaya baru dalam mendistribusikan atau mengelola sumberdaya yang dimiliki oleh suatu wilayah baik sumberdaya manusia, alam, maupun institusi dalam meningkatkan kesejahteraan wilayahnya. Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001 melahirkan paradigma baru dan membawa implikasi yang lebih luas bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat seragam dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang harus mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio kultural masyarakat setempat.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi ke-31 oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tanggal 21 November 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dimana sebelumnya provinsi ini merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi yang terbentuk setelah era reformasi terjadi. Ketika masih bergabung dengan provinsi Sumatera Selatan terdiri atas tiga daerah, yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota Pangkalpinang. Setelah pemekaran, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi sendiri, kemudian pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tanggal 23 Januari 2003 dilakukan pemekaran wilayah dengan penambahan 4 (empat) Kabupaten yaitu Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan dan Belitung Timur.

Kebijakan desentralisasi di Indonesia telah berjalan cukup lama, namun belum diketahui dampaknya secara signifikan terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang ada di Indonesia. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah memberikan dampak positif bagi perkembangan daerah, namun juga memberikan dampak negatif. Otonomi daerah yang telah berjalan di Indonesia saat ini justru mendirikan rezim oligarki, primordialisme dan politik klientelisme. Selain itu desentralisasi juga memunculkan peluang dominasi kontrol elit lokal, hal ini menimbulkan inefisiensi kelembagaan. Perubahan kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah mengakibatkan ketidakjelasan siapa yang menjadi pemberi kewenangan (principal) dan siapa yang diberi kewenangan atau yang mewakili (agent), sehingga terjadilah ketidakharmonisan kelembagaan bagi terselengaranya tata kelola yang baik (Jaya, 2005).

Dari perspektif ekonomi, ketertinggalan daerah otonom baru terhadap daerah induk maupun daerah lainnya disebabkan keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia, serta belum maksimalnya dukungan pemerintah dalam mendukung bergeraknya perekonomian melalui investasi publik. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum mampu meningkatkan kekuatan fiskal bagi pemerintah kabupaten dan kota, banyak dari pemerintah kabupaten dan kota masih tergantung pada dana perimbangan dari pusat.

Pertumbuhan Perekonomian Daerah dan Kemampuan Fiskal

Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi di Indonesia, kondisi keuangan pemerintah daerah relatif menjadi kuat dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Sebelum desentralisasi, pemerintah pusat menyalurkan dana dalam bentuk dana hibah yang pengunaannya telah ditentukan dari pusat. Namun setelah pelaksanaan sistem desentralisasi pada tahun 2001, pemerintah pusat kemudian mengalihkan dana untuk mengurangi kesenjangan fiskal secara vertikal maupun horizontal, yang kemudian berdasarkan undang-undang desentralisasi dana tersebut dinamakan dana perimbangan. Tingkat pendapatan daerah mengalami peningkatan di seluruh wilayah Indonesia, namun daerah yang relatif kaya berkembang lebih cepat dibandingkan daerah yang relatif miskin. Bohte dan Meier (2000) dalam Adi (2005)  mengatakan bahwa perumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (Lin dan Liu, 2000; Oates, 1995 dalam Adi, 2005).

Menurut temuan studi yang dilakukan Kurniawati (2012), bahwa sejak pemekaran daerah, telah mendorong Kepulauan Bangka Belitung dalam peningkatan pemerataan pelayanan kesehatan, terutama di bidang pengadaan sarana fisik. Meskipun secara umum IPM daerah otonom baru lebih rendah dari daerah induk, namun tingkat pengangguran dan kemiskinan di Daerah Otonom Baru lebih rendah daripada di daerah induk. Hal ini disebabkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi yang terlihat pada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di beberapa Daerah Otonom Baru (DOB). Dari hasil studi tersebut, dikatakan oleh Kurniawati (2012) bahwa terdapat lima dari tujuh daerah otonom baru yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan PDRB di atas angka nasional. Salah satunya adalah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sedangkan empat DOB lainnya adalah Provinsi Kepulauan Riau, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa desentralisasi dan pemekaran provinsi memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan PDRB di sebagian besar daerah otonom baru.

Diagram 1 Perbandingan PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung Setelah Pemekaran Wilayah

Sumber : BPS, 1998-2017 dan BPS Belitung, 2000-2017 (diolah)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setelah pemekaran wilayah pada tahun 2000, PDRB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terus mengalami peningkatan dan berada di atas PDRB Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan PDRB Kabupaten Belitung meski sempat mengalami penurunan, namun pada tahun 2011 terus meningkat, bahkan pada tahun 2016 melampuai PDRB Provinsi Sumatera Selatan. Adanya pelaksanaan kebijakan desentralisasi, secara tidak langsung memunculkan kompetisi antar daerah otonom dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung dapat lebih mengoptimalkan sumber daya alam serta potensi yang dimilikinya untuk melayani kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan efisien. Laju pertumbuhan PDRB per kapita Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung pasca desentralisasi juga dapat dilihat pada diagram berikut.

Diagram 2. Perbandingan Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten Belitung Setelah Pemekaran Wilayah

Sumber : BPS, 1998-2017 dan BPS Kabupaten Belitung 2000-2017 (diolah)

Dari diagram di atas terlihat laju pertumbuhan PDRB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih bersifat fluktuatif namun pada akhirnya mengalami peningkatan dari tahun 2009 ke tahun 20011, walau akhirnya menurun lagi hingga tahun 2016. Sedangkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Belitung berada stabil lebih tinggi dari Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Sumatera Selatan. Beberapa ahli mengemukakan dalam Sumarsono dan Utomo (2009) adanya hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan berdasarkan Tiebout models sebagai center-piecenya. Adanya pelimpahan wewenang akan memberikan kondisi kompetisi persaingan antar kabupaten/kota untuk memaksimalkan kepuasan bagi masyarakat. Peningkatan kemampuan daerah otonom baru tersebut disebabkan karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program dan kebijakan pemerintah akan dapat lebih efektif untuk dijalankan.

Namun, dikatakan juga oleh Sumarsono dan Utomo (2009), bahwa pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal dapat menimbulkan kondisi meningkatnya instabilitas ekonomi makro di daerah. Hal ini dapat terjadi jika daya dukung kelembagaan yang menjalankan kebijakan dan program pemerintah tersebut kurang memadai. Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat pada pengendalian anggaran belanja akan mengurangi ruang gerak pemerintah pusat mengadakan pelayanan dan koordinasi aspek ekonomi publik secara langsung, sehingga hal ini berdampak terhadap pengendalian variabel ekonomi makro di tingkat sub-nasional cenderung menurun. Dikatakan Tanzi (1995) dalam Sumarsono dan Utomo (2009) bahwa adanya pelimpahan wewenang dan orientasi pemerintah daerah terhadap kepentingan lokal mengakibatkan pola hubungan antara daerah dan pusat kurang kooperatif.

Penerapan desentralisasi fiskal memberikan kebebasan peminjaman oleh daerah otonom, hal ini dapat menyebabkan pemerintah daerah memiliki kelebihan utang yang melampaui kapasitas pengembalian kewajibannya. Kedua hal tersebut bisa meningkatkan inflasi sehingga akan mengakibatkan bertambahnya instabilitas makroekonomi. Pada kasus-kasus tersebut, desentralisasi fiskal mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, sehingga hal ini dapat menjadi bukti bahwa instabilitas makroekonomi memperlambat pertumbuhan ekonomi (Fischer, 1993 dalam Sumarsono dan Utomo, 2009).

Dengan pelaksanaan otonomi daerah dan otonomi fiskal akan dapat mendorong pemerintah daerah semakin kreatif dan inovatif dalam menggali sumber-sumber keuangan daerahnya sehingga sedikit demi sedikit dapat mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat. Desentralisasi memungkinkan pemberdayaan sosial ekonomi yang cepat di tingkat daerah, sehingga potensi PAD yang dimiliki suatu daerah dapat tergali secara maksimal. Dalam mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal.

Terkait dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah, maka telah dilakukan beberapa pelimpahan wewenang sumber penerimaan dari pajak dan retribusi yang awalnya masih dipegang oleh pemerintah pusat. Pelimpahan wewenang tersebut tetap mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi, mobilitas obyek pajak serta fungsi stabilisasi dan distribusi pajak itu sendiri. Adanya penerapan desentralisasi ini juga meningkatkan mekanisme kontrol dari masyarakat dan LSM terhadap pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah sebagai wujud nyata pelaksanaan asas transparansi dan akuntabilitas fiskal. Dana perimbangan yang diterima daerah berupa DAU dapat digunakan untuk dana operasional (tunjangan) aparatur daerah, pelayanan publik yang bersifat intangible serta proyek pembangunan jangka pendek. Sedangkan DAK diarahkan untuk meningkatkan keberhasilan program nasional yang bersifat prioritas serta pencapaian Standar Pelayanan Minimal di masing-masing daerah.

Otonomi dan pembangunan daerah dapat terealisasi apabila disertai kemandirian keuangan yang efektif. Pemerintahan daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan terus menggali potensi daerah yang dapat dijadikan sumber PAD, seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Rumus untuk menghitung rasio kemandirian fiskal ini adalah :

Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal = Pendapatan Asli Daerah (PAD) x 100%

                                                                      Total Penerimaan Daerah

Berikut adalah grafik total penerimaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung beserta komponennya pasca era desentralisasi tahun 2001-2016.

Diagram 3. Penerimaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung beserta komponennya pasca era desentralisasi Tahun 2001-2016

 

 

3 thoughts on “KEMANDIRIAN FISKAL PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DAN KABUPATEN BELITUNG PASCA DESENTRALISASI”

  1. Исследования восприятия. Личность турецкий. Charactour тест на русском. К социальным качествам человека относится. Определения типа личности. Развитие психики и сознания.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

eighteen + 17 =